Rabu, 27 Desember 2017

Tawassul dan Istighotsah yang Syar'i

Hakikat tawassul dan istighotsah :
Para ulama seperti al-Imam al-Hafizh Taqiyyuddin al-Subki menegaskan bahwa tawassul, istisyfa’, istighatsah, isti’anah, tajawwuh dan tawajjuh, memiliki makna dan hakekat yang sama. Mereka mendefinisikan tawassul - dan istilah-istilah lain yang sama - dengan definisi sebagai berikut:
“Memohon datangnya manfaat (kebaikan) atau terhindarnya bahaya (keburukan) kepada Allah dengan menyebut nama seorang nabi atau wali untuk memuliakan (ikram) keduanya”. (Al-Hafizh al-’Abdari, al-Syarh al-Qawim, hal. 378).

Pengertian Tawassul :
Tawassul adalah mengambil perantara makhluk untuk doa kita pada Allah swt (Habib Munzir al Musawa, Kenalilah Aqidahmu, hal. 33).

Pengertian Istighotsah :
Istighatsah adalah memanggil nama seseorang untuk meminta pertolongannya. (Habib Munzir al Musawa, Kenalilah Aqidahmu, hal. 37).

Tawassul yang diperselisihkan (ikhtilaf) :
Tawassul kepada Allah dengan dzat Nabi Muhammad SAW, salah seorang Nabi yang lain, malaikat atau orang sholih.
Imam Ahmad membolehkan tawassul dengan hak Nabi SAW. (Yusuf Qardhawi, Fushul fil Aqidah bainas Salaf wal Khalaf, hal. 349).

Tawassul yang dilakukan Nabi SAW dengan dirinya dan para Nabi sebelumnya:
Dalam biografi Fathimah binti Asad, ibu dari Ali ibn Abi Thalib terdapat keterangan bahwa ketika ia meninggal, Rasulullah SAW menggali liang lahatnya dengan tangannya sendiri dan mengeluarkan tanahnya dengan tangannya sendiri. Ketika selesai beliau masuk dan tidur dalam posisi miring di dalamnya, lalu berkata: Allah Dzat yang menghidupkan dan mematikan. Dia hidup tidak akan mati. Ampunilah ibuku Fathimah binti Asad, ajarilah ia hujjah, lapangkanlah tempat masuknya dengan kemuliaan Nabi-Mu dan para Nabi sebelumku. Karena Engkau adalah Dzat yang paling penyayang. Rasulullah kemudian mentakbirkan Fathimah 4 kali dan bersama Abbas dan Abu Bakar Shiddiq RA memasukkannya ke dalam liang lahat.” HR Thabarani dalam al Kabir dan al Awsath. Dalam sanadnya terdapat Rauh ibn Sholah yang dikategorikan dapat dipercaya oleh Ibnu Hibban dan al-Hakim. Hadits ini mengandung kelemahan. Sedang perawi lain di luar Rouh sesuai dengan kriteria perawi hadits shahih.
Sebagian ahli hadits berbeda pendapat menyikapi status Rouh ibn Sholah, salah seorang perawi hadits di atas. Namun Ibnu Hibban memasukkannya dalam kelompok perawi tsiqah (dapat dipercaya). Pendapat al-Hakim adalah, “Ia dapat dipercaya.” Keduanya sama-sama mengkategorikan hadits sebagai shahih. Demikian pula Al Haitsami dalam Majma’ul Zawaaid. Perawi hadits ini sesuai dengan kriteria perasi hadits shahih. (Muhammad Alawi al Maliki, Paham-paham Yang Harus Diluruskan, hal. 100-101, versi pdf.).

Bertawassul dengan Nabi SAW setelah Nabi wafat, dengan menyebut “Ya Muhammad” :
Dari Abu Umamah bin Sahl bin Hunaif, dari pamannya bernama Utsman bin Hunaif, bahwa ada seorang laki-laki akan menghadap Khalifah Utsman bin ‘Affan untuk suatu urusan, maka ia pun menemui Utsman bin Hunaif, ia mengadu kepada Utsman bin Hunaif, Utsman bin Hunaif berkata kepadanya: “Pergilah ke tempat wudhu’, kemudian berwudhu’lah, kemudian pergilah ke masjid, shalatlah dua rakaat, kemudian ucapkanlah: “Ya Allah, aku memohon kepada-Mu dan menghadap kepada-Mu berkat nabi-Mu Muhammad Saw nabi pembawa rahmat, ya Muhammad aku menghadap denganmu kepada Tuhanmu, agar Ia menunaikan hajatku”, kemudian ucapkanlah hajatmu. Pergilah, agar aku dapat pergi bersamamu”. Maka laki-laki itu pun pergi, ia melakukan apa yang dikatakan Utsman bin Hunaif. Kemudian ia datang ke pintu Utsman bin ‘Affan, lalu Utsman mendudukkannya bersamanya di atas karpet alas duduk, Utsman bin ‘Affan bertanya: “Apakah keperluanmu?”. Laki-laki itu pun menyebutkan keperluannya, lalu Utsman bin ‘Affan menunaikannya. Kemudian Utsman bin ‘Affan berkata kepadanya: “Engkau tidak menyebutkan keperluanmu hingga saat ini. Jika engkau ada keperluan, maka datanglah kepada kami”. Kemudian laki-laki itu pergi. Lalu ia menemui Utsman bin Hunaif dan berkata: “Semoga Allah memberikan balasan kebaikan kepadamu, sebelumnya Khalifah Utsman bin ‘Affan tidak mau melihat keperluan saya dan tidak menoleh kepada saya hingga engkau menceritakan tentang saya kepadanya”. Utsman bin Hunaif berkata: “Demi Allah, saya tidak pernah menceritakan tentangmu kepada Khalifah Utsman bin ‘Affan, akan tetapi saya menyaksikan Rasulullah Saw, seorang yang buta datang kepadanya mengadu kepadanya tentang penglihatannya yang hilang, maka Rasulullah Saw berkata kepadanya: “Apakah engkau bersabar?”. Laki-laki buta itu menjawab: “Wahai Rasulullah, tidak ada yang membimbing saya, berat bagi saya”. Rasulullah Saw berkata kepadanya: “Pergilah engkau ke tempat wudhu’, berwudhu’lah, kemudian shalatlah dua rakaat, kemudian berdoalah dengan doa ini”. Utsman bin Hunaif berkata: “Demi Allah, tidak berapa lama kami berpisah, tidak berapa lama kami bercerita, hingga laki-laki buta itu datang kepada kami, seakan-akan ia tidak buta sama sekali”.
Ath-Thabrani berkata: “Yang meriwayatkan hadits ini adalah Syu’bah dari Abu Ja’far, namanya Umar bin Yazid, ia seorang periwayat yang Tsiqah (terpercaya), hanya Utsman bin Umar yang meriwayatkan dari Syu’bah. Abu Abdillah al-Maqdisi berkata: “Ini hadits shahih”. (Abdul Somad, 37 Masalah Populer, hal. 136-137).

Tawassul dengan Abbas, paman Nabi SAW :
Dari Anas ra: bahwa Umar bin Khattab ra apabila tertimpa kekeringan dia beristisqa bersama Abbas bin Abdul Muthallib ra. Dia berdoa: Ya Allah, dulu kami bertawassul kepada-Mu dengan Nabi-Mu, maka engkau turunkan hujan. Sekarang kami bertawassul dengan kepada-Mu dengan paman Nabi-Mu, berikanlah kami hujan. Anas berkata: Maka turunlah hujan. (HR. Bukhori).

Istighotsah kepada Nabi SAW setelah beliau wafat dalam Tafsir Ibnu Katsir :
Sejumlah ulama —antara lain Syekh Abu Mansur As-Sabbag di dalam kitabnya Asy-Syamil— mengetengahkan kisah yang terkenal dari Al-Atabi yang menceritakan bahwa ketika ia sedang duduk di dekat kubur Nabi Saw., datanglah seorang Arab Badui, lalu ia mengucapkan, "Assalamu'alaika, ya Rasulullah (semoga kesejahteraan terlimpahkan kepadamu, wahai Rasulullah). Aku telah mendengar Allah berfirman: 'Sesungguhnya jikalau mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasul pun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka menjumpai Allah Maha Penerima Tobat lagi Maha Penyayang' (An-Nisa: 64).
Sekarang aku datang kepadamu, memohon ampun bagi dosa-dosaku (kepada Allah) dan meminta syafaat kepadamu (agar engkau memohonkan ampunan bagiku) kepada Tuhanku."
Kemudian lelaki Badui tersebut mengucapkan syair berikut, yaitu:
يَا خَيْرَ مَنْ دُفِنَتْ بِالْقَاعِ أَعْظُمُهُ ... فَطَابَ مِنْ طِيبِهِنَّ الْقَاعُ وَالْأَكَمُ
نَفْسِي الْفِدَاءُ لِقَبْرٍ أَنْتَ سَاكِنُهُ ... فِيهِ الْعَفَافُ وَفِيهِ الْجُودُ وَالْكَرَمُ
Hai sebaik-baik orang yang dikebumikan di lembah ini lagi paling agung, maka menjadi harumlah dari pancaran keharumannya semua lembah dan pegunungan ini. Diriku sebagai tebusan kubur yang engkau menjadi penghuninya; di dalamnya terdapat kehormatan, kedermawanan, dan kemuliaan.
Kemudian lelaki Badui itu pergi, dan dengan serta-merta mataku terasa mengantuk sekali hingga tertidur. Dalam tidurku itu aku bermimpi bersua dengan Nabi Saw., lalu beliau Saw. bersabda,
يَا عُتْبى، الحقْ الْأَعْرَابِيَّ فَبَشِّرْهُ أَنَّ اللَّهَ قَدْ غَفَرَ له
"Hai Atabi, susullah orang Badui itu dan sampaikanlah berita gembira kepadanya bahwa Allah telah memberikan ampunan kepadanya!"
(Tafsir Ibnu Katsir, QS. An Nisa : 64).

Istighotsah kepada Nabi untuk meminta hujan :
Al Hafidh Abu Bakar Al Baihaqi mengatakan, “ Memberi kabar kepadaku Abu Nashr ibn Qatadah dan Abu Bakr Al Farisi, keduanya berkata, “Bercerita kepadaku Abu ‘Umar ibn Mathar, bercerita kepadaku Ibrahim ibn ‘Ali Al Dzuhali, bercerita kepadaku Yahya ibn Yahya, bercerita kepadaku Abu Mu’awiyah dari A’masy dari Abi Shalih dari Malik, ia
berkata: “Pada masa khalifah ‘Umar ibn Al Khaththab penduduk mengalami paceklik, lalu seorang lelaki datang ke kuburan Nabi SAW dan berkata, “Wahai Rasulullah, Mohonkanlah hujan kepada Allah karena ummatmu banyak yang meninggal dunia.” Rasulullah pun datang kepadanya dalam mimpi,dan berkata: Datangilah Umar, sampaikanlah salam untuknya dariku dan khabarkan pada penduduk bahwa mereka akan diberi hujan, dan katakan pada ‘Umar: “Kamu harus tetap dengan orang yang pintar, orang yang pintar!”. Lelaki itu pun mendatangi Umar menceritakan apa yang dialaminya. Kata Umar, “Ya Tuhanku, saya tidak bermalas-malasan kecuali terhadap sesuatu yang saya tidak mampu mengerjakannya.” (Dikutip dari Bidayah wan Nihayah Ibnu Katsir, Juz 1 hal. 91 oleh Muhammad Alawi al Maliki pada kitab ‘Paham-paham yang Harus diluruskan’).
Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan dengan sanad yang shohih dari Abu Sholih as Samman, dari Malik ad Dari – seorang bendahara Umar – ia dia berkata: “Pada masa Umar  manusia telah ditimpa kekeringan, maka seorang laki-laki datang ke kuburan Nabi dan berkata, “Ya Rasulallah, mintalah hujan untuk umatmu karena mereka telah ditimpa kehancuran!” Lalu Nabi datang kepada laki-laki tersebut dalam mimpinya, dan dikatakan kepadanya, “Datanglah kepada Umar!”” Saif meriwayatkan dalam kitab ‘Al Futuh’ bahwa orang yang bermimpi tersebut adalah Bilal bin Harits al Muzani, salah seorang sahabat. (Ibnu Hajar al Asqalani, terjemah Fathul Bari, jilid 5 hal 410-411, penerbit Pustaka Azzam).

Istighotsah pada Nabi setelah wafat agar sembuh dari kram :
Demikian pula diriwayatkan bahwa dihadapan Ibn Abbas ra ada seorang yang keram kakinya, lalu berkata Ibn Abbas ra : “Sebut nama orang yang paling kau cintai..!”, maka berkata orang itu dengan suara keras: “Muhammad..!”, maka dalam sekejap hilanglah sakit keramnya (diriwayatkan oleh Imam Hakim, Ibn Sunniy, dan diriwayatkan oleh Imam Tabrani dengan sanad hasan) dan riwayat ini pun diriwayatkan oleh Imam Nawawi pada Al Adzkar. (Habib Munzir al Musawa, Kenalilah Aqidahmu, hal. 37).
Dari Mujahid, ia berkata, “Seorang lelaki yang berada dekat Ibnu Abbas mengalami kram pada kakinya. “Sebutkan nama orang yang paling kamu cintai,” kata Ibnu Abbas kepadanya. Lalu lelaki itu menyebut nama Muhammad dan akhirnya hilanglah rasa sakit akibat kram pada kakinya. [Disebutkan oleh Ibnu Taimiyyah dalam Al Kalim Al Thayyib pada Al Faslh Al Saabi’ wa Al Arba’in hlm. 161] (Muhammad Alawi al Maliki, Paham-paham yang Harus diluruskan, hal. 108 versi pdf)

Istighotsah dengan malaikat :
Dari Ibnu Abbas bahwa Rasulullah SAW bersabda: "Sesungguhnya Allah mempunyai para malaikat yang bertugas mencatat daun yang jatuh dari pohon. Jika salah seorang dari kalian mengalami kepincangan di padang pasir maka berserulah: "Bantulah aku, wahai para hamba Allah."
Hadits ini diriwayatkan oleh Al Thabarani dan para perawinya dapat dipercaya. ((Muhammad Alawi al Maliki, Paham-paham yang Harus diluruskan, hal. 108 versi pdf)

Kehidupan Nabi SAW di alam barzakh :
Rasulullah SAW bersabda: Hidupku lebih baik untuk kalian. Kalian bisa berbicara dan mendengar pembicaraan. Dan kematianku lebih baik buat kalian. Amal perbuatan kalian disampaikan kepadaku. Jika aku menemukan amal baik maka aku memuji Allah dan bila menemukan amal buruk aku memohonkan ampunan kepada Allah untuk kalian.
Al Hafid Al ‘Iraqi menyatakan dalam Kitab Al Janaa’izi min Tharhi Al Tatsribi fi Syarhi Al Taqribi bahwa isnad hadits ini baik.Al Hafidh Al Haitsami dalam Majma’u Al Zawaaid vol IX hlm 24 menyatakan bahwa hadits ini diriwayatkan oleh Al Bazzaar dan para perawinya memenuhi kriteria perawi hadits shahih. Al Suyuthi menilai hadits ini shahih dalam Al Mu’jizatu wa Al Khashaisu. Demikian pula Al Qasthalani pensyarah kitab Al Bukhari. Dalam Faidlu Al Qadir vol III hlm 4211, Al Munawi menegaskan bahwa hadits ini shahih. Begitu pula Al Zurqani dalam syarh Al Mawaahib karya Al Qasthalani, dan Al Syihab Al Khafaaji dalam syarh Al Syifaa vol I hlm. 122. Begitu pula Al Mala Al Qari dalam syarh Al Syifaa vol I hlm 122. ia mengatakan hadits ini diriwayatkan pula oleh Al Harits ibnu Abi Usamah dalam Musnadnya dengan sanad shahih. Ibnu Hajar menyebutkan hadits ini dalam Al Mathalib Al ‘Aaliyah vol. IV hlm 22. Hadits ini datang dari sumber lain dengan status mursal dari Bakr ibnu Abdillah Al Muzani. Al Hafidh Isma’il Al Qadli meriwayatkan hadits ini dalam Juz’u Al Shalat ‘ala Al Nabi Saw. Al Syaikh Nashiruddin Al Albani menyatakan bahwa status hadits ini mursal shahih. Al Hafid Abdul Hadi yang keras kepala dan kaku menilai hadits ini shahih dalam kitabnya Al Sharim Al Munki fi Al Radd ‘ala Al Subki.  (Muhammad Alawi al Maliki, Paham-paham Yang Harus Diluruskan, hal. 233-234 versi pdf).
Sabda beliau saw : “Tiadalah seseorang bersalam kepadaku, kecuali Allah mengembalikan ruh ku hingga aku menjawab salamnya” (HR Baihaqiy dalam Sunan Alkubra hadits no.10.050)

Pendapat ULAMA yang membolehkan tawassul dengan selain Nabi SAW :

Sesungguhnya madzhab ahlussunnah wal jama’ah yaitu: bahwa tawassul dengan kemuliaan Rasulullah SAW dan orang-orang sholih adalah disyariatkan dan boleh. Tidak ada beda baik mereka masih hidup maupun sudah wafat. Juga bertabarruk (mengambil berkah) dengan mereka karena mereka itu dicintai oleh Allah SWT. Adapun manfaat, madharat dan penciptaan hanyalah milik Allah SWT yang Maha Esa dan tidak ada sekutu bagi-Nya. (Syaikh Ahmad bin Zaini Dahlan, dikutip oleh Prof. Dr. Qahthan Addauri dalam kitab “Al Aqidah Al Islamiyyah wa Madzahibuha”, hal. 220-221). 

PENDAPAT HASAN AL BANNA DALAM USHUL 'ISYRIN
Doa kepada Allah yang disertai tawassul dengan seseorang dari makhluk adalah termasuk masalah khilaf furu’ dalam cara berdoa, bukan termasuk masalah aqidah. (Ushul ke-15)
 

Selasa, 05 Desember 2017

Prinsip-prinsip Dasar Aqidah Asy’ariyyah


Berikut ini adalah prinsip-prinsip dasar Asy’ariyyah yang merupakan pandangan Imam Abul Hasan Al Asy’ari. Prinsip-prinsip ini disebutkan oleh Prof. Dr. Qahthan Abdurrahman Ad Dauri dalam kitabnya “Al Aqidah Al Islamiyyah Wa Madzahibuha” halaman 183-193. Kitab ini diterbitkan oleh Kitab-Nasyirun Beirut pada tahun 1433H/2012M.
1.       Menetapkan sifat-sifat Allah yang terdapat dalam Al Qur’an dan As Sunnah.
Sifat-sifat ini melekat pada Dzat Allah SWT, tidak menyerupai sifat makhluknya dan merupakan sifat yang azali.
2.       Allah merupakan pencipta yang hakiki.
Allah tidak bersekutu dengan sesuatupun dalam penciptaan makhluk. Seluruh perbuatan seseorang adalah makhluk yang diciptakan oleh Allah SWT. Perbuatan ini merupakan kemampuan yang dimiliki seseorang (kasb). Karena adanya kemampuan ini, seseorang dibebani hukum syara’ (taklif), sehingga ada balasan pahala dan siksa dari Allah SWT.
3.       Ukuran kebaikan dan keburukan adalah syariat.
Kebaikan merupakan hal-hal yang diperintahkan oleh Allah dan keburukan merupakan hal-hal yang dilarang oleh Allah.
4.       Perbuatan Allah tidak ditanyakan sebab/alasannya.
Sebagaimana firman Allah dalam surat Al Anbiya’ ayat 23. “Dia tidak ditanya tentang apa yang Dia perbuat, akan tetapi merekalah yang akan ditanyai.”
5.       Sesuatu yang ada (wujud), sah untuk dilihat.
Allah itu ada (wujud) sehingga sah untuk dilihat. Berdasarkan dalil-dalil dari Al Qur’an dan As Sunnah, orang-orang mukmin akan melihat Allah kelak di akhirat.
6.       Mengenai ayat dan hadits yang seolah-olah menyerupakan Allah dengan Makhluknya, ada dua pendapat :
a.       Tanpa takwil: Allah mempunyai tangan yang melekat pada Dzat-Nya yang Maha Mulia, akan tetapi bukan tangan dalam arti anggota badan seperti tangan makhluk. Tangan-Nya adalah sifat-Nya. Demikian juga tentang wajah-Nya. Tangan dan wajah merupakan sifat yang wajib ditetapkan. Sifat bersemayam/istiwa’ dan turun/nuzul merupakan sifat-Nya. Istiwa’ merupakan perbuatan yang dilakukan-Nya terhadap arsy.
b.       Takwil: Menafsirkan lafal kepada suatu makna yang dikandung oleh lafal itu. Dalam hal ini, tangan ditafsirkan sebagai kekuatan.
Asy’ariyyah/Asya’iroh terbagi dalam dua pendapat ini, ada yang mentakwil dan ada yang tidak.

7.       Iman adalah membenarkan dengan hati.
Adapun menetapkan dengan lisan dan beramal dengan perbuatan merupakan cabang iman. Karena itu, orang yang telah membenarkan dengan hati, dia disebutsebagai mukmin (orang beriman).
8.       Seorang mukmin yang bertauhid tetapi mengerjakan dosa besar, jika meninggal sebelum bertaubat, maka hukumnya diserahkan kepada Allah.
Bisa jadi Allah mengampuninya atau Rasulullah SAW memberikan syafaat kepadanya. Bisa jadi Allah mengadzabnya, setelah itu memasukkannya ke surga. Seorang mukmin tidak akan kekal di neraka. Seorang fasik adalah mukmin dengan keimanannya, akan tetapi fasik karena perbuatan dosanya.
9.       Rasulullah SAW mempunyai syafa’at.
Syafaat Rasulullah SAW, yang diberikan terhadap orang mukmin yang seharusnya disiksa, dikabulkan oleh Allah. Syafaat ini tidak diberikan kepada orang yang tidak diridhoi-Nya.
10.   Tidak mengkafirkan ahli kiblat.
Seseorang yang tetap melaksanakan sholat dengan menghadap ke ka’bah, maka dia adalah seorang muslim yang tidak boleh dikafirkan. Kecuali seseorang yang melakukan dosa besar dengan keyakinan bahwa hal itu halal dan tidak haram, maka dia kafir.
11.   Pengambilan dalil dalam hal aqidah menggunakan naql (dalil) dan akal secara bersamaan.
Akal digunakan untuk membantu memahami dhohir nash, bukan sebagai hakim atas nash.


Artikel lain :
101 Ciri Ahlussunnah wal Jama'ah
Aqidah Ahlussunnah wal Jama'ah  
Tawassul dan Istighotsah yang Syar'i 
Mensucikan Allah dari Arah dan Tempat 
Pentingnya Sanad