Senin, 01 Januari 2018

Mensucikan Allah dari Arah dan Tempat

IMAM THAHAWI
Dalam kitab aqidah thahawiyyah beliau menjelaskan:
وَتَعَالَى عَنِ الْحُدُودِ وَالْغَايَاتِ، وَالْأَرْكَانِ وَالْأَعْضَاءِ وَالْأَدَوَاتِ، لَا تَحْوِيهِ الْجِهَاتُ السِّتُّ كَسَائِرِ الْمُبْتَدَعَاتِ
Maha tinggi diri-Nya dari batas-batas, arah-arah, anggota tubuh, anggota badan, dan perangkat-perangkat. Dia tidak terkungkungi oleh enam penjuru arah sebagaimana semua makhluk-Nya. (Aqidah Ath-Thahawiyah Matan dan Terjemah, terbitan Pustaka Syabab Surabaya, hlm. 10).


IMAM BAIHAQI

Dalam kitab ‘Al I’tiqad’ dalam pembahasan mengenai ‘istiwa’ beliau menjelaskan :
Secara umum, wajib diketahui bahwa istiwa-nya Allah SWT bukan dalam arti tegak dari membungkuk, menetap pada suatu tempat atau bersentuhan dengan makhluk-Nya. Akan tetapi Allah istiwa di atas arsy sebagaimana yang Dia beritakan tanpa kaif (bagaimana/seperti apa), tanpa aina (di mana), berbeda dari seluruh makhluk-Nya. Dan bahwasannya ‘kedatangan-Nya’ (ityan) bukanlah dari suatu tempat ke tempat lain, kedatangan-Nya (maji’) bukanlah dengan bergerak, turun-Nya bukan dengan berpindah, nafs-Nya bukanlah jisim, wajah-Nya bukanlah bentuk (Shurah), Yad-Nya (makna dhahir: tangan) bukanlah anggota badan, ain-Nya bukanlah bola mata. Ini semua merupakan sifat yang diberitakan secara tauqifi, kami meyakininya dan kami meniadakan kaif/takyif. (Al I’tiqad wal Hidayah ila Sabil Ar Rasyad, Imam Al Baihaqi, hlm. 121-123, cetakan Darul Fadhilah Riyadh).
  
IMAM NAWAWI

Dalam “Syarah Shahih Muslim” beliau menyebutkan tentang hadits jariyah:
Nabi SAW bertanya kepada seorang budak perempuan, {{“Di mana Allah?” Dia menjawab, “Di langit.” Nabi bertanya lagi, “Siapakah aku?” Dia menjawab, “Engkau adalah Rasulullah.” Nabi bersabda, “Bebaskan dia, karena dia seorang mukminah.”}}.
Hadits ini termasuk hadits sifat. Dalam hal ini terdapat dua pendapat seperti yang telah dijelaskan beberapa kali  pada ‘Kitab Iman’. Dua pendapat itu adalah: (1) Mengimaninya tanpa membahas secara mendalam tentang maknanya, bersama dengan keyakinan bahwa Allah SWT tidak serupa dengan apapun, serta mensucikan-Nya dari sifat khas makhluk. (2) Mentakwilkan dengan sesuatu yang pantas bagi-Nya. Ulama yang mengikuti pendapat kedua berkata: yang dimaksud adalah menguji budak itu apakah dia bertauhid dengan meyakini bahwa yang Maha Pencipta, Maha Mengatur, Maha Berbuat hanyalah Allah Yang Esa. Allah yang jika orang berdoa kepada-Nya dengan menghadap langit sebagaimana jika sholat menghadap ke ka’bah. Yang dimaksud hadits itu bukanlah karena Allah terbatas di langit sebagaimana Allah tidak terbatas di arah kiblat.
………………
Al Qadhi Iyadh berkata: [[Tidak ada khilaf/perbedaan di kalangan muslimin seluruhnya, baik ahli fiqihnya, ahli haditsnya, ahli kalamnya, cendikiawannya, maupun muqallidnya. Bahwa makna dhohir dari nash yang bahwa menyatakan Allah SWT ada di langit, --seperti firman-Nya
 أَأَمِنتُم مَّن فِي السَّمَاءِ أَن يَخْسِفَ بِكُمُ الْأَرْضَ
--bahwa maknanya bukanlah seperti dhahirnya (yang tersurat). Akan tetapi menurut mereka semua, ayat seperti ini ditakwil. Ulama yang mengitsbat (menetapkan) arah atas tanpa pembatasan dan tanpa kaif –dari para ahli hadits, ahli fiqih dan ahli kalam—mereka mentakwilkan kata “di langit” dengan “di atas langit”. Sedangkan mayoritas cendikiawan, ahli kalam dan ahli tanzih menafikan/meniadakan batasan dan arah. Mereka mentakwilkan dengan beberapa takwil yang sesuai dengan penggunaannya. … Pendapatku tentang kesepakatan ahlus sunnah dan ahlul haq seluruhnya adalah: wajibnya menahan diri dari berfikir tentang dzat Allah sebagaimana mereka melewatkan nash (sebagaimana adanya-pent) dan diam karena bingungnya pikiran. Mereka sepakat atas haramnya takyif (=menentukan cara/bentuk-pent) dan tasykil (=menentukan bentuk/macam-pent). Hal itu terlihat dari diamnya mereka, juga mereka menahan diri, tanpa ragu tentang wujud Allah, tanpa merusak tauhid. Bahkan, seperti itulah hakikat tauhid. Kemudian sebagian mereka bertoleransi tentang penetapan arah karena takut dari hal seperti ini (terjatuh pada berpikir tentang dzat Allah-pent), dan takut tentang apakah takyif dan itsbat arah itu berbeda. Akan tetapi mereka memutlakkan apa yang telah dimutlakkan oleh syara’ bahwasannya Allah berkuasa atas sekalian hamba-Nya, dan bahwasannya Allah ‘istiwa’ atas arsy dengan menahan diri dari semua ayat tentang ini dengan tanzih sesuatu yang sulit dipahami akal, karena firman Allah yang lain: Laisa kamitslihi syaiun, tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia.]] (Syarah Shahih Muslim, Imam Nawawi, jilid 5 hlm. 24-25, cetakan Al Mathba’ah Al Mishriyyah bil Azhar)


Pada bagian lain Imam Nawawi menjelaskan :
Ketahuilah bahwasanya ahli ilmu punya dua pendapat tentang hadits dan ayat sifat: (1) Madzhab pembesar salaf atau keseluruhannya, bahwasannya mereka tidak membicarakan maknanya. Akan tetapi mereka berkata, wajib bagi kami untuk beriman padanya dan meyakini ayat dan hadits itu mempunyai makna yang sesuai dengan kebesaran dan keagungan Allah; bersamaan dengan keyakinan yang pasti bahwasannya Allah SWT tidak serupa dengan apapun, dan bahwasannya Allah Maha Suci dari jisim, berpindah, bertempat pada suatu arah dan dari seluruh sifat makhluk. Ini merupakan madzhab segolongan ahli kalam, dan sekelompok peneliti memilih madzhab ini. Inilah madzahab yang lebih selamat. (2) Madzhab para pembesar ahli kalam bahwasannya ayat dan hadits sifat ditakwil dengan sesuatu yang sesuai  dengan penggunaannya. Yang boleh mentakwil adalah orang yang ahli, yang memahami perkataan-perkataan Arab serta kaidah-kaidah ushul dan furu’, serta menguasai ilmu ini. (Syarah Shahih Muslim, Imam Nawawi, jilid 3 hlm. 19, cetakan Al Mathba’ah Al Mishriyyah bil Azhar)

IBNU HAJAR AL ASQALANI
Dalam kitab ‘Fathul Bari’, syarah shahih Bukhari beliau menjelaskan tentang hadits:
Nabi SAW bersabda: {{Sesungguhnya jika salah seorang dari kamu berdiri untuk sholat, maka dia sedang bermunajat kepada Tuhannya, atau Tuhannya berada di antara dirinya dan kiblat…}}.
Hadits ini menolak orang yang menyangka bahwa Allah di atas arsy dengan dzat-Nya. (Fathul Bari, Ibnu Hajar Al Asqalani, jilid 1 hlm. 508, cetakan Al Maktabah As Salafiyyah).

Tentang hadits ‘nuzul’ beliau mengatakan:
Orang yang menetapkan arah berdalil dengan hadits ini. Dia berkata, “yaitu arah atas”. Mayoritas ulama (jumhur) mengingkari hal itu, karena perkataan semacam itu menunjukkan tempat. Maha Suci Allah dari hal itu. (Fathul Bari, Ibnu Hajar Al Asqalani, jilid 3 hlm. 30, cetakan Al Maktabah As Salafiyyah).

Penjelasan tetang hadits No. 7421 :
Zainab binti Jahsy berkata : “Sesungguhnya Allah menikahkanku di langit.”
Al Kirmani mengatakan: perkataan “di langit”, maka dhohirnya (makna tersuratnya) bukanlah yang dimaksud, karena Allah Maha Suci dari bertempat. Akan tetapi, karena arah atas itu lebih mulia dibandingkan arah lainnya, maka arah ini disandarkan kepada Allah sebagai isyarat/pertanda ketinggian Dzat dan sifat-Nya. Seperti ini pula nash-nash lain yang mengandung lafadz “ketinggian” dan yang semisalnya. (Fathul Bari, Ibnu Hajar Al Asqalani, jilid 13 hlm. 412, cetakan Al Maktabah As Salafiyyah).

Penjelasan tentang Bab “ta’rujul malaaikatu war ruuhu ilaihi.”:
Ibnu Baththal berkata: Dengan bab ini, Imam Bukhari ingin membantah jahmiyyah mujassimah yang berpegang pada makna dhohir. Sungguh telah tetap bahwasannya Allah itu bukan jisim, sehingga tidak membutuhkan tempat untuk menetap/tinggal. Sesungguhnya Dia telah ada tanpa ada tempat (kana wa la makana). Sesungguhnya penyandaran “al ma’arij” (tempat-tempat naik) kepada Allah maksudnya adalah kemuliaan. Dan makna “irtifa’” adalah ketinggian-Nya dengan mensucikan-Nya dari tempat. (Fathul Bari, Ibnu Hajar Al Asqalani, jilid 13 hlm. 416, cetakan Al Maktabah As Salafiyyah).

IMAM AL QURTHUBI
Dalam ‘Tafsir Al Qurthubi’ Surat Al A’raf ayat 54 beliau menjelaskan tentang firman Allah :
ثُمَّ اسْتَوَىٰ عَلَى الْعَرْش
Mayoritas ulama dahulu dan sekarang berpendapat wajibnya tanzih/mensucikan Allah dari arah dan tempat. Termasuk hajat dan kewajiban dalam hal ini – menurut kebanyakan ulama yang dahulu dan ulama sekarang yang mengikuti mereka – , yaitu: mensucikan Allah dari arah, sehingga menurut mereka Allah tidak di arah atas. (Tafsir Al Qurthubi, QS. Al A’raf ayat 54, versi software ‘Ayat’).

SYAIKH NAWAWI AL BANTANI
Beliau menjelaskan dalam kitab ‘Nurudh Dholam’:
Allah SWT adalah Dzat yang tidak ada pada-Nya sifat makhluk. Apapun yang terlintas dalam pikiranmu dari sifat-sifat makhluk, maka itu semua tidak ada pada Allah, dan Dia tidak bertempat. (Nurudh dholam, Syaikh Nawawi al Bantani, hlm. 7-8, Mathba’ah Mushtafa al Babi al Halabi wa Auladuh).

Artikel lain :
101 Ciri Ahlussunnah wal Jama'ah
Aqidah Ahlussunnah wal Jama'ah
Salafi Sebagai Madzhab Aqidah
Prinsip-prinsip Dasar Aqidah Asy'ariyyah 
Pengertian Bid'ah 
Pentingnya Sanad 
Tawassul dan Istighotsah yang Syar'i