Tawassul dengan
Nabi Muhammad SAW.
Tawassul,
istighotsah dan meminta syafaat kepada Allah dengan Nabi Muhammad SAW
adalah hal yang boleh dan baik untuk dilakukan. Tawassul dengan Nabi
Muhammad SAW itu boleh dilakukan dalam semua keadaan: sebelum beliau
diciptakan, setelah diciptakan, selama beliau hidup di dunia, setelah
meninggalnya (saat di alam barzakh), dan setelah beliau dibangkitkan
kembali kelak di akhirat.
Tawassul dengan Nabi
ini terbagi menjadi tiga makna:
- Tawassul dalam
makna seseorang meminta kepada Allah SWT dengan Nabi Muhammad SAW,
dengan kehormatan beliau, atau dengan barokah beliau.
- Tawassul dalam
makna seseorang meminta doa kepada Nabi Muhammad SAW.
- Seseorang meminta
sesuatu kepada Nabi Muhammad SAW, dalam makna Nabi mampu menjadi
sebab terwujudnya sesuatu yang diminta itu. Baik dengan cara Nabi SAW
berdoa kepada Allah atau dengan cara memberi syafa’at kepada orang
yang meminta itu.
Dalam
semua jenis tawassul ini, pada hakikatnya yang diminta adalah Allah
SWT.
TAWASSUL DENGAN NABI
SAW.
1. Tawassul
sebelum Nabi Muhammad SAW diciptakan.
Rasulullah SAW
bersabda: “Ketika Adam AS berbuat salah, Adam AS berkata: Ya
Tuhanku, aku meminta kepada-Mu dengan haq Muhammad agar Engkau
mengampuniku. Maka Allah Azza wa Jalla berfirman: Wahai Adam,
bagaimana engkau bisa mengenal Muhammad sedangkan Aku belum
menciptakannya? Adam menjawab: Karena, saat Engkau menciptakanku
dengan kekuatan-Mu dan Engkau tiupkan ruh-Mu kepadaku, aku mengangkat
kepalaku, kemudian aku melihat di tiang-tiang Arsy tertulis ‘tidak
ada Tuhan selain Allah, Muhammad Rasulullah’. Maka aku mengetahui
bahwa Engkau tidak akan menggabungkan (sebuah nama) kepada nama-Mu,
kecuali pasti itu adalah makhluk yang paling Engkau cintai. Maka
Allah Azza wa Jalla berfirman: engkau benar wahai Adam, sesungguhnya
dia (Muhammad) adalah makhluk yang paling Aku cintai. Karena engkau
meminta-Ku dengan haqnya (Muhammad), maka sungguh Aku telah
mengampunimu. Dan seandainya bukan karena Muhammad, maka Aku tidak
menciptakanmu.” (HR. Al Hakim). Hadits ini dishahihkan oleh Al
Hakim, As Suyuthi, Al Qasthallani, Az Zarqani dan Taqiyuddin As
Subki.
2. Tawassul pada
saat Nabi Muhammad SAW hidup di dunia.
“Dari Utsman bin
Hunaif ra, bahwasannya seorang laki-laki buta datang kepada Nabi SAW
dan berkata: Doakanlah kepada Allah, agar Allah menyembuhkanku. Nabi
SAW bersabda: Jika engkau mau aku akan mendoakanmu, dan jika engkau
mau bersabar maka itu lebih baik bagimu. Laki-laki itu menjawab:
Doakanlah kepada Allah. Maka Nabi memerintahkannya untuk berwudhu,
membaguskan wudhunya, dan berdoa dengan doa ini: Ya Allah aku meminta
kepada-Mu dan aku menghadap kepada-Mu dengan Nabi-Mu Muhammad, Nabi
rahmah. Wahai Muhammad, aku menghadap denganmu kepada Tuhanku dalam
kebutuhanku ini agar Allah mengabulkannya untukku. Ya Allah terimalah
syafa’atnya untukku.“ (HR. Tirmidzi). Menurut At Tirmidzi hadits
ini hasan shahih. Hadits ini juga dishahihkan oleh Al Baihaqi, Al
Hakim dan Adz Dzahabi.
3. Tawassul
setelah Nabi Muhammad SAW wafat.
Pada saat Nabi SAW
telah wafat dan Utsman menjabat sebagai khalifah, ada seorang
laki-laki yang mendatangi Utsman bin Hunaif dengan riwayat sebagai
berikut:
“Dari Utsman bin
Hunaif ra: bahwa seorang laki-laki berkali-kali datang kepada Utsman
bin Affan ra untuk suatu kebutuhan, namun Utsman tidak menoleh
kepadanya dan tidak memperhatikan kebutuhannya. Kemudian laki-laki
itu datang kepada Utsman bin Hunaif dan mengeluhkan kejadian itu
kepadanya. Maka Utsman bin Hunaif berkata: pergilah ke tempat wudhu
kemudian berwudhulah, setelah itu datanglah ke masjid dan sholatlah
dua rekaat, kemudian berdoalah: ‘Ya Allah aku meminta kepada-Mu dan
menghadap kepada-Mu dengan Nabiku Muhammad SAW, Nabi rahmah. Wahai
Muhammad aku menghadap kepada Tuhanku denganmu, agar Allah
mengabulkan permintaanku.’ Kemudian sebutkanlah kebutuhanmu. (HR.
Thabrani).
Kemudian laki-laki
tersebut datang ke rumah Utsman bin Affan, kemudian Utsman
mempersilahkan dia masuk dan mengabulkan kebutuhannya.
Atsar ini dijadikan
hujjah berdasarkan pemahaman sahabat Utsman bin Hunaif yang
mengajarkan doa tersebut, sedangkan pada saat itu Nabi SAW telah
wafat. Tentu saja sahabat Utsman bin Hunaif sangat paham dengan hukum
Allah dan rasul-Nya.
TAWASSUL DENGAN
MEMINTA DOA DARI NABI SAW.
1. Meminta doa
pada saat Nabi Muhammad SAW hidup di dunia.
Hal ini sudah
mutawatir. Banyak sekali hadits-hadits tentang meminta doa ini. Di
antaranya: “Seorang laki-laki masuk ke masjid pada hari Jum’at
saat Nabi SAW sedang berdiri dalam khutbah. Kemudian laki-laki itu
menghadap Rasulullah dalam keadaan berdiri, dia berkata: Ya
Rasulullah, harta telah rusak, jalan-jalan telah terputus, berdoalah
kepada Allah SWT agar memberi hujan kepada kami. Maka Rasulullah
mengangkat tangannya kemudian berdoa: Ya Allah berilah hujan kepada
kami, Ya Allah berilah hujan kepada kami.” (HR. Bukhari dan
Muslim).
2. Meminta
syafaat kepada Nabi Muhammad SAW di hari kiamat.
Meminta syafaat di
hari kiamat sudah menjadi ijma’ dan telah mutawatir di dalam
hadits-hadits Nabi.
3. Meminta doa
kepada Nabi Muhammad SAW setelah wafat (di alam barzakh).
Pada masa Umar bin
Khatthab (menjadi khalifah), manusia ditimpa kekeringan/paceklik.
Kemudian seorang laki-laki datang ke kubur Nabi SAW dan berkata:
‘Wahai Rasulullah, mohonkanlah hujan untuk umatmu, karena mereka
telah binasa.’ Maka Rasulullah SAW mendatanginya di dalam mimpi dan
bersabda: ‘Datanglah kepada Umar, sampaikan salam kepadanya, dan
beritakan kepadanya bahwa mereka akan diberi hujan, dan katakan
padanya: wajib atasmu menjadi dermawan.’ Maka laki-laki itu
mendatangi Umar dan menceritakan (hal itu) kepadanya. Maka Umar
menangis kemudian berkata: ‘Ya Tuhanku, tidaklah aku bersambalewa
melainkan apa yang memang aku tidak mampu.’ (HR. Baihaqi). Atsar
ini dishahihkan oleh Ibnu Katsir. Atsar ini juga diriwayatkan oleh
Ibnu Abi Syaibah dan dishahihkan oleh Ibnu Hajar Al Asqallani.
TAWASSUL DENGAN
MEMINTA SESUATU KEPADA NABI.
Atsar-atsar tentang
hal ini ada banyak, di antaranya permintaan seorang sahabat kepada
Nabi SAW: “Aku minta kepadamu agar aku bisa menemanimu di surga.
Maka Nabi SAW bersabda: (Untuk itu) Tolonglah aku dengan cara engkau
memperbanyak sujud.” (HR. Muslim).
Istighotsah.
Istighotsah adalah
meminta pertolongan. Seseorang bisa meminta pertolongan secara
langsung kepada Allah SWT. Seseorang juga bisa meminta pertolongan
kepada orang lain yang menurutnya bisa membantu, dalam arti orang itu
bisa mengusahakan bantuan tersebut atau bisa menjadi sebab
terwujudnya pertolongan. Sedangkan pada hakikatnya yang bisa
menciptakan dan mewujudkan pertongan itu hanyalah Allah SWT. Dalam
makna seperti inilah maksud istighotsah kepada Nabi SAW.
Jadi, istighotsah
kepada Nabi Muhammad SAW adalah meminta pertolongan kepada Beliau SAW
dengan doa Beliau dan semacamnya. Maka istighotsah ini kembali kepada
tawassul dalam makna: tawassul dengan Nabi SAW dan tawassul dengan
meminta doa dari Nabi SAW. Hal ini boleh dilakukan pada saat Nabi SAW
masih hidup di dunia maupun sesudah wafatnya.
Tawassul dengan
selain Nabi Muhammad SAW.
Sebagaimana
diperbolehkan tawassul dengan Nabi Muhammad SAW, boleh juga
bertawassul dengan Nabi-nabi yang lain, dengan orang-orang sholih dan
dengan para wali.
1. Tawassul
dengan Nabi-nabi.
Nabi Muhammad SAW
pernah berdoa dengan tawassul: “… dengan haq Nabi-Mu dan
Nabi-nabi sebelumku” (HR. Thabrani). Sanadnya jayyid.
2. Tawassul
dengan orang sholih/wali.
Hadits riwayat Imam
Bukhari tentang kisah tiga orang yang terjebak di gua, menunjukkan
tentang bolehnya bertawassul dengan amal sholih. Padahal amal adalah
makhluk. Maka bertawassul dengan orang yang mempunyai keutamaan di
hadapan Allah lebih layak dilakukan.
Dalam hadits riwayat
Imam Bukhari, Umar bin Khatthab pada saat paceklik/kekeringan, pernah
bertawassul dengan Abbas dalam sholat istisqa’, dan tidak ada
seorangpun yang menolak hal ini.
Bahan rujukan.
- “Syifaus Saqam
fi Ziyarati Khairil Anam”, Taqiyuddin as Subki.
- “Al Jauharul
Munaddham fi Ziyaratil Qabril Mukarram”, Ibnu Hajar al Haitami.
- “Mafahim Yajib
an Tushahhah”, Sayyid Muhammad Alwi al Maliki.