Minggu, 30 Januari 2022

Apa Makna Hadits "Dilarang Memisahkan Ibu dan Anaknya"?

Beberapa saat lalu saya membaca artikel dengan judul “Jangan Pisahkan Anak dengan Ibunya Ketika Masih Kecil”. Dalam artikel tersebut penulis memulai dengan pertanyaan: Kapan sebaiknya anak mulai dipondokkan? Kemudian penulis melanjutkan: Jawaban yang tepat adalah, ketika anak belum dewasa sebaiknya dia tidak jauh dari ibunya. Di bagian lain penulis mengungkapkan: Tidak tepat ketika anak belum dewasa, anak sudah dipondokkan dan jauh dari orang tua. Penulis kemudian mengutip hadits riwayat Imam At Tirmidzi dan Imam Al Hakim untuk membela pendapatnya ini.

Apabila penulis memberikan argumen berdasarkan teori psikologi atau teori pendidikan, tentu tidak ada masalah, karena semua itu adalah teori yang bisa benar atau salah. Yang menjadi masalah adalah, ketika penulis berargumen dengan hadits Nabi SAW, kemudian memaknai sendiri hadits tersebut tanpa menyebutkan penjelasan para ulama tentang maksud dari hadits itu. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah: Benarkah hadits tersebut mempunyai makna “tidak tepat memondokkan anak ketika belum dewasa”?.

Adapun hadits-hadits yang dimaksud adalah:

Pertama,

عَنْ أَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ الْحُبُلِيِّ ، عَنْ أَبِي أَيُّوبَ ، قَالَ : سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ : مَن فَرَّقَ بَيْنَ الْوَالِدَةِ، وَوَلَدِهَا فَرَّقَ اللَّهُ بَيْنَهُ، وَبَيْنَ أَحِبَّتِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

Dari Abi Abdirrahman al Hubuliy, dari Abi Ayyub, dia berkata: Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda: “Barangsiapa memisahkan antara ibu dan anaknya, maka Allah akan memisahkan dia dengan orang-orang yang dicintainya”. (HR. Tirmidzi).

Kedua,

أَنَّهُ سَمِعَ عُبَادَةَ بْنَ الصَّامِتِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، يَقُولُ‏:‏ نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُفَرَّقَ بَيْنَ الْأُمِّ وَوَلَدِهَا، فَقِيلَ‏:‏ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِلَى مَتَى‏؟‏ قَالَ‏:‏ حَتَّى يَبْلُغَ الْغُلَامُ وَتَحِيضَ الْجَارِيَةُ

Bahwasannya beliau mendengar Ubadah bin Shomit ra berkata: Rasulullah SAW melarang untuk memisahkan antara ibu dan anaknya. Maka dikatakan: Wahai Rasulullah, sampai kapan?. Rasulullah menjawab: sampai baligh untuk anak laki-laki, dan sampai haid untuk anak perempuan. (HR. Al Hakim).

Imam At Tirmidzi meletakkan hadits tersebut di Kitab Jual Beli, beliau memberikan judul Bab “Khabar Tentang Makruhnya Memisahkan antara Dua Saudara atau antara Ibu dan Anaknya dalam Jual Beli (Budak)”. (Aridhatul Ahwadzi bi Syarhi Shahih At Tirmidzi, Jilid 5 halaman 226, Darul Kutubil Ilmiyyah, Beirut 1997). Imam Al Hakim juga meletakkan hadits di atas pada Kitab Jual Beli. (Al Mustadrak ‘alas Shahihain, Jilid 2 halaman 64, Darul Kutubil Ilmiyyah, Beirut 2002). Dari ijtihad para ulama ahli hadits tersebut dapat kita ketahui bahwa hadits-hadits tadi berada dalam konteks jual beli budak.

Salah satu ulama madzhab Syafi’i, Al Khathib Asy Syirbini, juga menjadikan hadits ini sebagai dalil haramnya jual beli budak dengan misahkan ibu dan anaknya. (Mughnil Muhtaj, Jilid 2 halaman 51, Darul Ma’rifah, Beirut 1997).

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwasannya hadits-hadits di atas tidak ada hubungannya dengan kapan waktu yang tepat untuk memondokkan anak. Selanjutnya hendaknya kita senantiasa berhati-hati dalam memaknai sebuah hadits. Jangan sampai kita memberikan makna sebuah hadits yang tidak sesuai dengan konteksnya. Janganlah kita memaknai sendiri sebuah hadits tanpa melihat pemaknaan yang diberikan oleh para ulama’. Wallahu a’lam bis showab.