Minggu, 15 Agustus 2021

Perbedaan Pendapat Tentang Hukum Musik

Dari Aisyah, beliau berkata: “Abu Bakar masuk ke rumahku, sedangkan di sampingku ada dua budak perempuan dari budaknya kaum Anshor, keduanya bernyanyi tentang sesuatu yang diperbincangkan kaum Anshor pada hari Bughats.” Aisyah berkata: “Keduanya bukanlah tukang menyanyi.” Maka Abu Bakar berkata: “Apakah siulan syetan ada di dalam rumah Rasulullah SAW?” Padahal saat itu adalah hari raya. Maka Rasulullah SAW bersabda: “Wahai Abu Bakar, setiap kaum punya hari raya, dan hari ini adalah hari raya kita.” (HR. Muslim).

Dalam riwayat yang lain seperti itu juga dan ada tambahan: Dua budak perempuan memainkan rebana. (HR. Muslim)

Para ulama berbeda pendapat tentang hukum nyanyian. Sekelompok ulama Hijaz memperbolehkannya, pendapat ini juga merupakan salah satu riwayat dari Imam Malik. Abu Hanifah mengharamkannya, demikian juga para ulama Iraq. Sedangkan madzhab Syafi’i berpendapat makruhnya nyanyian, dan ini adalah pendapat yang masyhur dalam madzhab Malik. (Syarah Shahih Muslim: 578)

Adapun alat musik, maka akan datang penjelasan tentang perbedaan pendapat para ulama tentang hal itu... Sekelompok ulama meriwayatkan kesepakatan tentang haramnya. Sebagian ulama yang lain meriwayatkan sebaliknya. (Fathul Bari: 695).

PENDAPAT MADZHAB SYAFI’I

Nyanyian manusia terkadang hanya dengan suara saja, terkadang disertai alat musik.

1. Nyanyian dengan suara saja.

Untuk nyanyian jenis pertama ini, hukumnya makruh. Hukum mendengarkannnya juga makruh. Keduanya (nyanyian dan mendengarkannya) tidak haram. Jika mendengarkannya dari wanita ajnabi, maka lebih makruh lagi. (Raudhatut Thalibin: 1960).

2. Menyanyi dengan alat musik.

Jenis kedua adalah menyanyi dengan alat musik yang termasuk syi’ar/simbol para peminum khamr (minuman keras), yaitu alat musik seperti thanbur (sejenis gitar), ‘oud (kecapi), simbal, dan semua ma’azif (alat musik bersenar banyak) serta dawai-dawai, semuanya haram memainkan dan mendengarkannya. …. Menurut pendapat yang ashah1 (terkuat) haram juga syabbabah (seruling iraq).

Adapun duff (rebana), maka hukum memainkannya adalah mubah (boleh) dalam walimatul urs (pernikahan) dan khitan. Di luar kedua acara tersebut penyusun kitab Al Muhadzab dan Al Baghawi serta ulama lainnya memutlakkan keharamannya. Sedangkan Imam Ghazali berkata: halal. Ketika kita membolehkan rebana ini, adalah pada saat rebana ini tidak ada kerincingannya. Adapun jika ada kerincingannya, maka menurut pendapat yang ashah adalah halal juga.

Memainkan gendang tidak haram kecuali jenis kuubah, yaitu gendang panjang, kedua ujungnya meluas, sedangkan tengahnya menyempit. Ini adalah gendang yang biasa ditabuh oleh waria. (Raudhatut Thalibin: 1960)

BAHAN RUJUKAN

  1. Yahya bin Syaraf An Nawawi, Al Minhaj fi Syarhi Shahih Muslim ibn Hajjaj, Baitul Afkar Ad Dauliyah.
  2. Yahya bin Syaraf An Nawawi, Raudhatut Thalibin, Dar Ibn Hazm, Beirut, 1423H/2002M.
  3. Ibnu Hajar Al Asqallani, Fathul Bari, Baitul Afkar Ad Dauliyah, Amman, 2000.

1Pengertian tentang istilah “ashah” bisa dilihat di Fikih Madzhab Syafi’i (Terjemah Minhajut Thalibin) Jilid 1 pada bagian Mukaddimah.