Minggu, 09 Desember 2018

Syarat Sah Sholat Menurut Madzhab Syafi'i (Terjemah dari Minhajut Thalibin)


BAB SYARAT-SYARAT SHOLAT
Syarat-syarat sholat ada lima:
  1. Mengetahui waktu.
  2. Menghadap kiblat.
  3. Menutup aurat.
    Aurat laki-laki: bagian tubuh antara pusar dan lutut; seperti itu pula bagi budak menurut pendapat yang ashah. Aurat perempuan merdeka: semua tubuh selain wajah dan telapak tangan1.
    Syarat menutup aurat: apa saja yang bisa menghalangi terlihatnya warna kulit, meskipun hanya tanah atau air yang keruh.
    Menurut pendapat yang ashah: wajib berlumuran tanah bagi orang yang tidak punya baju.
    Wajib menutup bagian atas dan samping, tidak bagian bawah. Kalau saat ruku’ atau saat lain aurat terlihat dari leher baju (kerah), maka tidak cukup, hendaknya dia mengancingkan atau mengencangkan (mengikat) bagian tengahnya. Wajib untuk menutup sebagian aurat yang terlihat dengan tangan menurut pendapat yang ashah. Jika dia hanya mendapatkan penutup yang hanya cukup untuk dua aurat2 (qubul dan dubur), maka dipakai untuk menutup keduanya. Jika hanya cukup untuk salah satunya, maka ditutup qubulnya; dikatakan: ditutup duburnya; dikatakan: boleh dipilih di antara keduanya.
  4. Suci dari hadats.
    Jika dia dikalahkan oleh hadats, maka batal sholatnya; dalam qaul qadim: tidak batal3. Dua pendapat itu berlaku bagi semua pembatal sholat yang menimpa tanpa pengurangan, dalam keadaan sulit menolak pembatal itu. Jika memungkinkan dalam keadaan angin menyingkap auratnya kemudian dia tutupi, maka tidak batal. Jika tidak mampu menolaknya misal khuffnya jadi longgar ketika sholat, maka batal.
  5. Sucinya pakaian, badan dan tempat dari najis.
    Apabila tidak jelas suci atau najis,hendaknya dia berijtihad. Seandainya najis sebagian pakaian atau badannya akan tetapi dia tidak tahu4, maka wajib membasuh/mencuci keseluruhannya. Seandainya dia menyangka najis itu di bagian tepinya, maka tidak cukup membasuh bagian tepi itu saja menurut pendapat yang shahih. Seandainya dia membasuh setengah najis, kemudian membasuh setengah sisanya, maka menurut pendapat yang ashah: bahwa jika dia membasuh sisanya yang bersebelahan/berdampingan, maka jadi suci seluruhnya; jika tidak demikian, maka jadi tidak berdampingan5.
    Tidak sah sholat seseorang yang sebagian pakaiannya menyentuh najis meskipun pakaian itu tidak bergerak bersama gerakannya6; demikian juga orang yang memegang ujung sesuatu7 yang ada najisnya jika sesuatu itu bergerak mengikuti gerakan orangnya, demikian pula jika tidak bergerak menurut pendapat yang ashah; seandainya dia jadikan ujung sesuatu itu di bawah kakinya, maka sah sholatnya secara mutlak. Tidak mengapa najis yang ada di depan dadanya ketika ruku’ dan sujud menurut pendapat yang shahih.
    Sendainya tersambung tulangnya8 dengan bahan najis ketika tidak ada bahan yang suci, maka dimaafkan. Jika tidak demikian9, wajib melepaskannya jika dia tidak takut adanya bahaya yang nyata – dikatakan: bahkan jika takut10. Jika orang itu meninggal, tidak usah dilepas menurut pendapat yang shahih.
    Dimaafkan tentang tempat istijmarnya; seandainya dia membawa alat istijmar maka batal sholatnya menurut pendapat yang ashah.
    Tanah jalan raya yang diyakini najisnya, dimaafkan karena sulitnya menjaganya dari najis secara umum. Berbeda-beda11 (tentang yang dimaafkan) sesuai waktu dan tempatnya dari kondisi pakaian dan badan12.
    Dimaafkan sedikit darah kutu, kotoran(tahi) lalat, menurut pendapat yang ashah: tidak dimaafkan jika banyak, demikian pula yang sedikit tapi menyebar bersama keringat, ukuran banyak itu sesuai dengan adat kebiasaan.
    Pendapatku: pendapat yang ashah menurut para muhaqqiq: dimaafkan secara mutlak. Wallahu a’lam.
    Darah jerawat seperti darah kutu, dan dikatakan: jika diperas, maka tidak (dimaafkan).
    Bisul, luka, tempat pisau lancip, dan bekam, maka dikatakan: seperti jerawat. Menurut pendapat yang ashah: jika yang seperti itu terus menerus secara umum, maka seperti istihadhah13; jika tidak maka seperti darah ajnabi, tidak dimaafkan; dan dikatakan: dimaafkan kalau sedikit.
    Pendapatku: menurut pendapat yang ashah: itu semua seperti jerawat, menurut yang adhhar: dimaafkan atas darah ajnabi yang sedikit, wallahu a’lam.
    Nanah, dan nanah bercampur darah, hukumnya seperti darah. Demikian juga cairan luka, cairan kulit melepuh yang ada udaranya, demikian juga yang tidak ada udaranya menurut pendapat yang adhhar.
    Pendapatku: pendapat madzhab: (yang tidak ada udaranya) itu suci, wallahu a’lam.
    Seandainya seseorang sholat dengan najis, tetapi dia tidak mengetahuinya, wajib mengqadha menurut qaul jadid. Jika dia mengetahuinya, kemudian lupa, wajib qadha menurut pendapat madzhab.
1termasuk bagian atas (punggung tangan) dan bawah (telapak tangan) sampai pergelangan tangan. (At Tuhfah: 2/112).
2qubul dan dubur. (At Tuhfah: 2/116)
3karena udzur dikalahkan (tidak mampu menahan) hadats. (Kanzur Raghibin: 1/198)
4(tidak tahu) di bagian mana dari pakaian atau badan. (At Tuhfah: 2/122)
5bagian yang berdampingan sisanya (tetap) najis (Kanzur Raghibin: 1/200)
6seperti ujung ‘imamah yang menyentuh najis tanpa bergerak atau dengan bergerak (Kanzur Raghibin: 1/200)
7seperti tali (Kanzur Raghibin: 1/200)
8karena patah dan butuh dengan sambungannya (Kanzur Raghibin: 1/200)
9maksudnya: jika dia menyambung dengan bahan najis, padahal ada bahan suci yang baik, atau tidak butuh pada sambungan itu. (Mughnil Muhtaj: 1/293)
10wajib melepaskannya juga meskipun takut bahaya yang nyata, karena hal itu adalah pelanggaran. (Mughnil Muhtaj: 1/293)
11tentang yang dimaafkan. (Mughnil Muhtaj: 1/295)
12dimaafkan (najis yang sulit menjaganya) pada musim dingin, pada ujung pakaian, pada telapak kaki; tidak dimaafkan pada musim panas, yang di tangan, pada lengan baju. (At Tuhfah: 2/130).
13Maka wajib menyumbat dan membalutnya sebagaimana penjelasan tentang istihadhah. Adapun darah yang keluar setelah itu, maka dimaafkan. (At Tuhfah: 2/134)

Senin, 03 Desember 2018

SIFAT SHOLAT NABI SAW Menurut Madzhab Syafi’i (Terjemah dari Minhajut Thalibin)

BAB SIFAT SHALAT
Rukun shalat:
  1. Niat
    Jika sholat fardhu, maka wajib menyengaja melakukannya1 dan menentukan namanya2. Pendapat yang ashah: wajib meniatkan “fardhu”, tidak menyerahkannya pada Allah, dan sah shalat ada’ dengan niat qadha demikian juga sebaliknya.
    Dalam sholat sunnah/nafilah yang mempunyai waktu atau sebab tertentu, tatacara niatnya sebagaimana dalam sholat fardhu. Dalam meniatkan “sunnah” ada dua wujuh, pendapatku: yang shohih tidak disyaratkan berniat “sunnah”, wallahu a’lam.
    Dalam sholat sunnah mutlak, cukup berniat mengerjakan sholat.
    Niat itu dengan hati, dan disunnahkan mengucapkannya sesaat sebelum takbir3.
    (Hadits No. 1)
  2. Takbiratul Ihram
    Tentu bagi yang mampu: “Allahu Akbar”. Tidak mengapa tambahan yang tidak menghalangi nama “takbir”, seperti “Allahul Akbar”, demikian juga “Allahul Jaliilu Akbar” menurut yang ashah. Tidak boleh “Akbarullah” menurut yang shahih.
    Bagi yang tidak mampu, boleh diterjemahkan4, dan wajib untuk belajar jika mampu.
    Sunnah mengangkat kedua tangan saat takbir di depan pundak5. Pendapat yang ashah: mengangkat tangan bersamaan dengan memulai takbir.
    Wajib membarengkan niat dengan takbir, dan dikatakan: cukup dengan awal takbir.
    (235-238)
  3. Berdiri pada sholat fardhu bagi yang mampu.
    Syaratnya: Menegakkan tulang punggung. Jika membungkuk atau miring hingga tidak bisa disebut berdiri, maka tidak sah.
    Jika tidak mampu tegak hingga jadi seperti orang ruku’, menurut pendapat yang shohih: tetap berdiri (membungkuk) seperti itu. Ketika ruku’, tambah membungkuk lagi jika mampu.
    Seandainya seseorang mampu berdiri tetapi tidak mampu ruku’ dan sujud, dia tetap berdiri serta melakukan ruku’ dan sujud sebatas kemampuannya.
    Jika tidak mampu berdiri, maka duduk sebisanya. Tetapi duduk iftirasy lebih utama dari bersila menurut pendapat yang adhhar. Makruh duduk iq’a, yaitu duduk di atas paha, tegak lututnya, kemudian ketika ruku’ membungkuk hingga dahinya di depan lututnya; yang lebih sempurna: sampai ke tempat sujud.
    Jika tidak mampu duduk, maka berbaring dengan lambung kanan. Jika tidak mampu, maka dengan terlentang.
    Bagi yang mampu, sholat sunnah dengan duduk. Juga dengan terlentang menurut pendapat yang ashah.
  4. Membaca.
    Disunnahkan membaca doa iftitah setelah takbiratul ihram, kemudian ta’awudz, keduanya dibaca lirih (sirr). Membaca ta’awudz pada tiap rekaat menurut pendapat madzhab, yang pertama lebih ditekankan lagi.
    Dan tentu pasti membaca Al Fatihah tiap rekaat, kecuali rekaatnya masbuq. Basmalah termasuk Al Fatihah, demikian juga semua tasydid termasuk Al Fatihah6.
    Jika huruf dhod (ض) diganti dengan zha (ظ), maka tidak sah menurut pendapat yang ashah.
    Wajib urut dan berturut-turut (tersambug). Jika tersisipi dzikir, maka terputuslah ketersambungannya. Jika dzikir itu terkait dengan sholat, seperti bacaan “amin” setelah fatihahnya imam, maka tidak terputus menurut pendapat yang ashah. Diam yang lama juga memutuskan ketersambungan. Demikian juga diam sebentar jika bermaksud memutus bacaan, menurut pendapat yang ashah.
    Jika belum bisa membaca Al Fatihah, maka membaca tujuh ayat lain (yang dia bisa) yang berurutan, jika tidak mampu maka ayat-ayat yang terpisah-pisah.
    Pendapatku: Menurut yang ashah yang dinashkan: boleh ayat yang terpisah-pisah sesuai urutan yang dia hafalkan, wallahu a’lam.
    Jika tidak mampu, maka boleh dengan dzikir. Ayat atau dzikir pengganti (jumlah hurufnya) tidak boleh kurang dari jumlah huruf Al Fatihah7 menurut pendapat yang ashah.
    Jika tidak tahu apa-apa, maka cukup diam dalam waktu yang setara dengan membaca Al Fatihah.
    Disunnahkan setelah Al Fatihah membaca “aamiin”, dengan mim tanpa tasydid dan alifnya dibaca panjang (mad), boleh juga dibaca pendek. Membaca “aamiin” bersamaan dengan imam dan dibaca keras menurut pendapat yang adhhar.
    Disunnahkan membaca surat lain setelah Al Fatihah, kecuali pada rekaat ketiga dan keempat menurut pendapat yang adhhar.
    Pendapatku: Untuk makmum masbuq, tetap membaca surat lain pada rekaat ketiga dan keempat menurut nash, wallahu a’lam.
    Makmum tidak membaca surat lain, akan tetapi mendengarkan imam. Jika posisinya jauh8 dari imam atau sedang dalam sholat sirr, maka tetap membaca surat lain menurut pendapat yang ashah.
    Disunnahkan pada sholat subuh dan dhuhur untuk membaca surat “thiwalul mufasshol”9 (surat pendek yang agak panjang). Pada sholat Ashar dan Isya’ separuhnya. Pada sholat maghrib, surat yang pendek. Pada sholat subuh hari Jum’at: surat As Sajdah, rekaat kedua surat Al Ghasiyah.
  5. Ruku’
    Minimal: membungkuk hingga telapak tangan sampai ke lutut, dengan tumakninah hingga ada jeda antara gerakan naik dengan turunnya, tanpa ada maksud lain selain ruku’. Seandainya dia bergerak turun dengan maksud sujud tilawah, kemudian dia ubah gerakan itu menjadi ruku’10, maka tidak mencukupi.
    Yang lebih sempurna: punggung dan leher rata, betis tegak, tangan memegang lutut, jari-jari membuka agar menghadap kiblat; bertakbir ketika mulai turun (untuk ruku’), serta mengangkat tangan seperti saat takbiratul ihram; dan mengucapkan “subhana rabbiyal adhim” tiga kali, imam tidak menambah bacaan, sedangkan munfarid menambah “Allahumma laka raka’tu wa bika amantu wa laka aslamtu, khasya’a laka sam’iy wa bashariy wa mukhkhiy wa adhmiy wa ‘ashabiy, wa ma istaqallat bihi qadamiy”.
  6. I’tidal
    I’tidal berdiri tumakninah, tidak ada maksud lain selain i’tidal, sendainya bergerak naik karena kaget, maka tidak mencukupi.
    Disunnahkan mengangkat tangan bersamaan dengan mengangkat kepala sambil mengucap “sami’allahu liman hamidah”. Ketika sudah tegak mengucapkan “Rabbana lakal hamdu mil’us samawati wa mil’ul ardhi wa mil’u ma syi’ta min syain ba’du”. Bagi munfarid menambah “ahluts tsana’i wal majdi, ahaqqu ma qalal ‘abdu, wa kulluna laka ‘abdun, la mani’a lima a’thoita, wa la mu’thiya lima mana’ta, wa la yanfa’u dzal jadii minkal jaddu”.
    Disunnahkan qunut pada i’tidal rekaat kedua sholat subuh, yaitu mengucapkan “Allahumma ihdiniy fi man hadaita….” sampai selesai. Doa imam menggunakan lafal jama’. Menurut pendapat yang shahih: disunnahkan bersholawat kepada Rasulullah SAW pada akhir qunut, mengangkat tangan, tidak mengusap wajah, imam membaca qunut dengan keras, makmum mengaminkan doa dan ikut membaca puji-pujian. Jika tidak bisa mendengar, maka makmum ikut membaca qunut.
    Disyariatkan qunut nazilah pada semua sholat wajib saat terjadi musibah, tidak mutlak menurut pendapat yang masyhur.
  7. Sujud
    Minimal: Sebagian dahi menyentuh tempat sholat. Jika sujud di atas barang yang tersambung dengannya, boleh selama barang itu tidak bergerak mengikuti gerakannya11.
    Tidak wajib meletakkan tangan, lutut, dan telapak kaki menurut pendapat yang adhhar.
    Pendapatku: menurut pendapat yang adhhar, wajib, wallahu a’lam.
    Wajib tumakninah dan berat kepalanya mencapai tempat sujud, beratnya tidak condong ke yang lain. Seandainya dia terjatuh (nyungsep) dengan wajahnya, wajib kembali i’tidal. Bagian tubuh bawah terangkat lebih tinggi dari bagian atas, menurut pendapat yang ashah.
    Yang lebih sempurna: bertakbir saat bergerak turun tanpa mengangkat tangan, meletakkan lutut kemudian tangan kemudian dahi dan hidung, kemudian mengucapkan “subhana rabbiyal a’la” tiga kali. Munfarid menambahkan: “Allahumma laka sajadtu wa bika amantu wa laka aslamtu, sajada wajhiya lilladzi khalaqahu wa shawwarahu, wa syaqqa sam’ahu wa basharahu, tabarakallahu ahsanul khaliqin”. Meletakkan tangan sejajar dengan pundak. Meluruskan jari-jari, merapatkannya ke arah kiblat. Memisahkan dua lutut, mengangkat perut dari menempel ke paha. Memisahkan siku dari lambung dalam ruku’ dan sujud, bagi perempuan dan banci menempelkan siku dan lambung.
  8. Duduk di antara dua sujud dengan tumakninah
    Wajib: tidak ada maksud lain ketika bergerak naik selain duduk; tidak memperpanjang waktunya, demikian juga ketika i’tidal.
    Yang lebih sempurna: bertakbir dan duduk iftirasy, meletakkan tangan dekat dengan lutut, meluruskan jari-jari, mengucapkan “Rabbighfirliy warhamniy wajburniy warfa’niy warzuqniy wahdiniy wa’afiniy”.
    Kemudian sujud kedua seperti yang pertama tadi.
    Pendapat yang masyhur: sunnah duduk sebentar setelah sujud kedua pada tiap rekaat yang langsung berdiri setelah sujud.
  9. Tasyahud.
  10. Duduk tasyahud.
  11. Sholawat kepada Nabi SAW.
    Tasyahud dan duduknya saat sebelum salam adalah rukun (tasyahud akhir), jika bukan sebelum salam maka sunnah (tasyahud awa). Boleh bagaimanapun cara duduknya.
    Sunnah pada tasyahud awal: duduk iftirasy, yaitu duduk di atas mata kaki kiri, menegakkan telapak kaki kanan dan meletakkan ujung jari-jari menghadap kiblat.
    Sunnah pada tasyahud akhir: duduk tawaruk, yaitu seperti duduk iftirasy akan tetapi telapak kaki kiri dikeluarkan ke arah kanan, serta menempelkan pangkal paha ke lantai.
    Menurut pendapat yang ashah: duduk iftirasy bagi makmum masbuq12 dan orang yang lupa13.
    Pada duduk tasyahud awal dan akkhir: tangan kiri diletakkan di dekat lutut, jari-jari diluruskan tanpa dirapatkan.
    Pendapatku: menurut pendapat yang ashah, dirapatkan, wallahu a’lam.
    Pada tangan kanan kelingking dan jari manis menggenggam. Demikian juga jari tengah menurut pendapat yang adhhar. Telunjuk dilepaskan, kemudian diangkat ketika mengucap “illallah”14, tidak menggerak-gerakkannya. Menurut pendapat yang adhhar: mengumpulkan jempol dengan dengan telunjuk seperti membuat angka lima puluh tiga15.
    Sholawat kepada Nabi SAW itu fardhu pada tasyahud akhir; menurut pendapat yang adhhar: sunnah pada tasyahud awal.
    Tidak disunnahkan tambahan ‘ala aali’ pada tasyahud awal menurut pendapat yang shahih, tetapi disunnahkan pada tasyahud akhir, dan dikatakan: wajib.
    Lebih sempurnanya tasyahud telah masyhur.
    Minimal: “Attahiyyatu lillah, salamun ‘alaika ayyuhan nabiyyu wa rahmatullahi wa barakatuh, salamun ‘alaina wa ‘ala ‘ibadillahis shalihin, asyhadu an laa ilaha illallah, wa asyhadu anna muhammadan rasulullah”. Dan dikatakan: tanpa “wa barakatuh” dan “shalihin”, dan berkata “wa anna muhammadan rasuluh”.
    Pendapatku: menurut pendapat yang ashah: “wa anna muhammadan rasulullah”, kalimat ini ditetapkan dalam shahih Muslim, wallahu a’lam.
    Minimal sholawat kepada Nabi SAW dan keluarganya: “Allahumma sholli ‘ala muhammadin wa ‘ala aalihi”, sedangkan tambahan sampai “hamidun majid” adalah sunnah pada tasyahud akhir; demikian juga doa sesudahnya, doa yang ma’tsur (diriwayatkan) itu lebih afdhal (utama), di antaranya: “Allahumma ighfir liy qaddamtu wa ma akhkhartu...” sampai selesai.
    Disunnahkan tidak menambah doa lebih panjang daripada gabungan tasyahud dan sholawat kepada Nabi SAW16.
    Orang yang tidak bisa tasyahud dan sholawat, maka diterjemahkan. Dan diterjemahkan doa dan dzikir yang sunnah bagi orang yang tidak bisa dan tidak mampu, menurut pendapat yang ashah.
  12. Salam.
    Minimal: “assalamu ‘alaikum”, menurut pendapat yang ashah: boleh “salamun ‘alaikum”.
    Pendapatku: menurut pendapat yang ashah yang dinashkan: tidak boleh, wallahu a’lam.
    Tidak wajib berniat keluar/selesai17.
    Yang lebih sempurna: “Assalamu ‘alaikum wa rahmatullahi” dua kali, ke kanan dan ke kiri. Menoleh yang pertama sampai terlihat pipinya yang kanan, dan yang kedua sampai terlihat pipinya yang kiri18. Berniat mengucap salam kepada malaikat, manusia dan jin yang ada di sebelah kanan dan kirinya. Imam berniat mengucap salam kepada yang mengikutinya (makmum). Dan para makmum berniat membalas salam imam.
  13. Tertib/urut rukun-rukunnya sebagaimana yang telah kami sebutkan.
    Apabila meninggalkan urutan dengan sengaja, misal sujud sebelum ruku’, maka batal sholatnya. Jika karena lupa, maka gerakan setelah rukun yang ditinggalkan jadi sia-sia. Jika dia ingat sebelum sampai gerakan yang salah, maka dia kembali melakukan gerakan yang benar. Apabila tidak ingat, maka rekaatnya telah sempurna dengan apa yang telah dikerjakan itu, kemudian dia menyelesaikan sisa sholatnya. Jika pada akhir sholat dia yakin telah meninggalkan sujud terakhir, maka dia bersujud kemudian mengulangi tasyahud; atau yakin telah meninggalkan satu sujud bukan pada rekaat terakhir, maka wajib baginya mengulang satu rekaat; demikian juga jika ragu-ragu tentang rekaat19.
    Jika saat berdiri pada rekaat kedua dia ingat telah meninggalkan satu sujud, jika tadi dia duduk setelah sujud, maka dia langsung mengulang sujud, – (Dan dikatakan: jika dia duduk dengan niat duduk istirahah, maka hal itu tidak mencukupi) – , jika tidak duduk setelah sujud, maka dia duduk dulu dengan tumakninah kemudian baru sujud, dan dikatakan: cukup sujud saja.
    Jika pada rekaat keempat dia ingat telah meninggalkan dua sujud atau tiga sujud, tetapi dia lupa di rekaat ke berapa, maka wajib menambah dua rekaat. Atau telah meninggalkan empat sujud20, maka dia sujud kemudian menambah dua rekaat. Atau meninggalkan lima atau enam sujud, maka menambah tiga rekaat. Atau meninggalkan tujuh sujud, maka dia sujud kemudian menambah tiga rekaat.
    Pendapatku: disunnahkan selalu memandang ke arah tempat sujud, – dikatakan: makruh memejamkan mata; menurutku: tidak makruh jika tidak takut bahaya, – dan (disunnahkan) khusyu’ (khidmat) dan mentadabburi (memikirkan) bacaan Al Qur’an dan dizikir, dan memasuki sholat dengan semangat dan hati yang lapang21, dan tangan diletakkan di bawah dada22, tangan kanan memegang tangan kiri, berdoa pada saat sujud, bersandar pada kedua tangan saat berdiri dari sujud dan duduk, lebih memanjangkan bacaan surat pada rekaat pertama daripada rekaat kedua menurut pendapat yang ashah, berdzikir setelah sholat , dan ketika sholat sunnah, berpindah dari tempat sholat fardhunya, yang paling afdhal: berpindah ke rumahnya, dan jika para wanita sholat di belakangnya, dia diam dulu sampai para wanita pergi, dan pergi ke arah yang dia butuhkan (sesuai hajatnya), jika tidak ada hajat, maka ke arah kanan.
    Maka telah selesai kewajiban mengikuti imam ketika imam mengucap salam. Bagi makmum hendaknya menyibukkan diri dengan dengan doa dan semisalnya kemudian bersalam, jika imam memendekkan bacaan sebelum salam, maka dia bersalam dua kali, wallahu a’lam.

BAB SYARAT-SYARAT SHOLAT
Syarat-syarat sholat ada lima:
  1. Mengetahui waktu.
  2. Menghadap kiblat.
  3. Menutup aurat.
    Aurat laki-laki: bagian tubuh antara pusar dan lutut; seperti itu pula bagi budak menurut pendapat yang ashah. Aurat perempuan merdeka: semua tubuh selain wajah dan telapak tangan23.
    Syarat menutup aurat: apa saja yang bisa menghalangi terlihatnya warna kulit, meskipun hanya tanah atau air yang keruh.
    Menurut pendapat yang ashah: wajib berlumuran tanah bagi orang yang tidak punya baju.
    Wajib menutup bagian atas dan samping, tidak bagian bawah. Kalau saat ruku’ atau saat lain aurat terlihat dari leher baju (kerah), maka tidak cukup, hendaknya dia mengancingkan atau mengencangkan (mengikat) bagian tengahnya. Wajib untuk menutup sebagian aurat yang terlihat dengan tangan menurut pendapat yang ashah. Jika dia hanya mendapatkan penutup yang hanya cukup untuk dua aurat24 (qubul dan dubur), maka dipakai untuk menutup keduanya. Jika hanya cukup untuk salah satunya, maka ditutup qubulnya; dikatakan: ditutup duburnya; dikatakan: boleh dipilih di antara keduanya.
  4. Suci dari hadats.
    Jika dia dikalahkan oleh hadats, maka batal sholatnya.
  5. Sucinya pakaian, badan dan tempat dari najis.



1Bahwa ia melakukan shalat, untuk membedakan dengan pekerjaan yang lain. (At Tuhfah: 2/5)
2Misal Dhuhur, atau yang lain. (At Tuhfah: 2/6)
3Agar lisan dapat membantu hatinya; agar keluar dari khilaf/perbedaan terhadap ulama’ yang mewajibkannya, meskipun pendapat (yang mewajibkan) ini syadz(aneh); dan qiyas terhadap hadits tentang niat haji, untuk membantah orang yang mencaci bahwa hal ini tidak ada riwayatnya. (At Tuhfah: 2/12)
4Dengan bahasa yang dikehendaki. (At Tuhfah: 2/16)
5Ujung jari sejajar dengan bagian telinga paling atas, jempol dengan cuping telinga (tempat anting-anting), telapak tangan dengan pundak(bahu). Hal ini mengikuti berbagai dalil shahih yang berbeda-beda lafal tekstualnya. Imam Syafi’i menggabungkan dalil-dalil itu menjadi tata cara yang telah disebutkan tadi. Disunnahkan membuka telapak tangan dan agak merenggangkan jari-jari. (At Tuhfah: 2/18)
6(dalam Al Fatihah) ada 14 tasydid. (At Tuhfah: 2/36)
7Basmalah dan seluruh tasydidnya terdiri dari 155 huruf, dengan bacaan maliki (ma dibaca pendek). (At Tuhfah: 2/46)
8Tidak bisa mendengar imam atau mendengar suara tapi tidak jelas huruf-hurufnya. Bisa juga dekat tetapi tidak mendengar. (At Tuhfah: 2/54)
9Al Mufasshol: mulai surat Al Hujurat sampai An Nas; pendapat lain: mulai surat Qaf; pendapat lain: mulai surat Al Qital (Muhammad); pendapat lain mulai surat Al Jatsiyah. (Daqaiqul Minhaj).
10Ketika sampai ke batas gerakan ruku’. (At Tuhfah: 2/58). Tidak jadi sujud tilawah tetapi dia ubah niatnya menjadi ruku’. (pent.)
11Misalnya ujung ‘imamah, karena termasuk dihukumi terpisah. (At Tuhfah: 2/70)
12Saat imam tasyahud akhir. (At Tuhfah: 2/79)
13Pada tasyahud akhir sebelum sujud sahwi, karena duduk itu bukan merupakan akhir dari sholatnya. (At Tuhfah: 2/79)
14dan tidak meletakkan telunjuk sampai selesai tasyahud. (At Tuhfah: 2/79)
15Ujung jempol ada di samping bagian bawah telunjuk, di tepi telapak tangan (At Tuhfah: 2/80)
16Bagi imam. Yang afdhal: lebih pendek dari gabungan tasyahud dan sholawat. (At Tuhfah: 2/88)
17dari sholat, sebagaimana semua ibadah yang lain. (At Tuhfah: 2/91)
18terlihat oleh orang di belakangnya. (Hasyiyah Syarwani: 2/92)
19apakah rekaat terakhir atau bukan, maka dia jadikan itu bukan rekaat terakhir dan wajib menambah saru rekaat. (At Tuhfah: 2/97)
20tetapi tidak tahu di rekaat ke berapa. (At Tuhfah: 2/98)
21dari berbagai kesibukan, karena hal itu menolongnya agar bisa khusyu’. (At Tuhfah: 2/102)
22dan di atas pusar, karena mengikuti hadits-hadits dengan cara menggabungkan berbagai riwayat dari syaikhan dan yang lainnya. (At Tuhfah: 2/102)
23termasuk bagian atas (punggung tangan) dan bawah (telapak tangan) sampai pergelangan tangan. (At Tuhfah: 2/112).
24qubul dan dubur. (At Tuhfah: 2/116)

Kamis, 19 April 2018

Aqidah Thahawiyah: Terjemah dan Penjelasan Singkat (Al Babarti & Al Ghunaimi Al Maidani)

Silahkan download gratis terjemah Aqidah Thohawiyah dengan penjelasan singkat. Penjelasan diambil dari: 1) Syarah Aqidah Thahawiyyah, Akmaluddin Muhammad bin Muhammad Al Babarti (w. 786 H); 2) Syarah Aqidah Thohawiyyah, Abdul Ghani Al Ghunaimi Al Maidani Al Hanafi Ad Dimasyqi (w. 1298 H).
Imam Thahawi rahimahullah berkata :

Ini merupakan penjelasan aqidah ahlussunnah wal jama’ah berdasarkan madzhab ahli fiqih agama: Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit, Abu Yusuf Ya’qub bin Ibrahim al Anshari, dan Abu Abdullah Muhammad bin Al Hasan As Syaibani. Mereka berakidah dengannya dalam pokok-pokok agama (ushuluddin) dan beragama dengannya kepada Allah Tuhan semesta alam.
Terjemah lengkap silahkan download di link berikut:
1) Terjemah saja: Aqidah_Thawiyyah_1-2.pdf
2) Terjemah dan teks Arab: Aqidah_Thahawiyah_2-2.pdf
3) 
Terjemah dan teks Arab: Aqidah Thahawiyah2-2-lay2.pdf (Lebih nyaman dibaca di HP)


Artikel lain : 
101 Ciri Ahlussunnah wal Jama'ah
Aqidah Ahlussunnah wal Jama'ah
Salafi Sebagai Madzhab Aqidah
Pengertian Bid'ah
Prinsip-prinsip Dasar Aqidah Asy'ariyyah 
Pentingnya Sanad 
Tawassul dan Istighotsah yang Syar'i 

Sabtu, 24 Maret 2018

Pengertian Bid'ah


Rasulullah SAW bersabda
وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ
“Setiap bid’ah adalah sesat” (HR. Muslim).
Imam Nawawi dalan Syarah Shahih Muslim memberikan penjelasan :
“Setiap bid’ah adalah sesat…”. Ini merupakan lafal umum yang dikhususkan. Yang dimaksudkan adalah: bid’ah pada umumnya [umumnya bid’ah adalah sesat-pent]. Ahli bahasa menjelaskan, bid’ah adalah segala sesuatu yang diamalkan tanpa adanya contoh sebelumnya. Para ulama berpendapat, bid’ah terdiri dari lima macam: wajib, sunnah/mandub, haram, makruh dan mubah. Bid’ah wajib contohnya: menyusun dalil-dalil kalam untuk membantah orang-orang yang ingkar, ahlul bid’ah dan yang serupa itu. Bid’ah sunnah contohnya: menyusun kitab-kitab berbagai ilmu, membangun sekolah, pondok pesantren dll. Bid’ah mubah contohnya: macam-macam jenis makanan dll. Bid’ah haram dan makruh sudah jelas. … Pendapat kami [bahwa hadits ini merupakan lafal umum yang dikhususkan] dikuatkan oleh perkataan Umar bin Khattab tentang tarawih [berjama’ah dengan satu imam]: “sebaik-baik bid’ah”. (Syarah Shahih Muslim-Kitab Jumu’ah, Imam Nawawi, jilid 6 hlm. 154-155).

Umar bin Khattab ra mengumpulkan umat Islam untuk melaksanakan sholat tarawih dengan satu imam, kemudian belaiu berkata, “نِعْمَالْبِدْعَةُ هَذِهِ Inilah sebaik-baik bid’ah” (HR. Bukhari).
Al Hafidz Ibnu Hajar al Asqalani dalam Fathul Bari, Syarah Shohih Bukhari menjelaskan :
Bid’ah, makna asalnya adalah sesuatu yang diadakan/baru tanpa adalanya contoh sebelumnya. Dalam istilah syar’i, bid’ah dimutlakkan sebagai sesuatu yang bertentangan dengan sunnah, karena itu bid’ah menjadi tercela. Kemudian yang tetap adalah: apabila bid’ah itu termasuk yang dianggap baik oleh syariat, maka bid’ah itu adalah baik (hasanah); apabila bid’ah itu termasuk yang dianggap buruk oleh syariat, maka bid’ah itu adalah buruk; apabila tidak termasuk keduanya, maka bid’ah itu mubah (boleh). Bid’ah itu terbagi ke dalam lima hukum. (Fathul Bari-Kitab Tarawih, Ibnu Hajar al Asqalani, jilid 4 hlm. 253, cetakan Al Maktabah As Salafiyyah).

KESIMPULAN
Pengertian bid’ah adalah : sesuatu yang baru yang belum ada contoh sebelumnya.
Ada lima macam hukum bid’ah, yaitu: wajib, sunnah, makruh haram dan mubah.