Dalam kitab aqidah thahawiyyah
beliau menjelaskan:
وَتَعَالَى عَنِ الْحُدُودِ وَالْغَايَاتِ،
وَالْأَرْكَانِ وَالْأَعْضَاءِ وَالْأَدَوَاتِ، لَا تَحْوِيهِ الْجِهَاتُ السِّتُّ
كَسَائِرِ الْمُبْتَدَعَاتِ
Maha tinggi diri-Nya dari
batas-batas, arah-arah, anggota tubuh, anggota badan, dan perangkat-perangkat.
Dia tidak terkungkungi oleh enam penjuru arah sebagaimana semua makhluk-Nya. (Aqidah Ath-Thahawiyah Matan
dan Terjemah, terbitan Pustaka Syabab Surabaya, hlm. 10).
IMAM BAIHAQI
Dalam kitab ‘Al I’tiqad’ dalam
pembahasan mengenai ‘istiwa’ beliau menjelaskan :
Secara umum, wajib diketahui bahwa istiwa-nya
Allah SWT bukan dalam arti tegak dari membungkuk, menetap pada suatu tempat
atau bersentuhan dengan makhluk-Nya. Akan tetapi Allah istiwa di atas arsy
sebagaimana yang Dia beritakan tanpa kaif (bagaimana/seperti apa), tanpa aina
(di mana), berbeda dari seluruh makhluk-Nya. Dan bahwasannya ‘kedatangan-Nya’
(ityan) bukanlah dari suatu tempat ke tempat lain, kedatangan-Nya (maji’)
bukanlah dengan bergerak, turun-Nya bukan dengan berpindah, nafs-Nya bukanlah
jisim, wajah-Nya bukanlah bentuk (Shurah), Yad-Nya (makna dhahir: tangan) bukanlah anggota badan,
ain-Nya bukanlah bola mata. Ini semua merupakan sifat yang diberitakan secara
tauqifi, kami meyakininya dan kami meniadakan kaif/takyif. (Al I’tiqad wal
Hidayah ila Sabil Ar Rasyad, Imam Al Baihaqi, hlm. 121-123, cetakan Darul
Fadhilah Riyadh).
IMAM NAWAWI
Dalam “Syarah Shahih Muslim” beliau
menyebutkan tentang hadits jariyah:
Nabi SAW bertanya kepada seorang
budak perempuan, {{“Di mana Allah?” Dia menjawab, “Di langit.” Nabi bertanya
lagi, “Siapakah aku?” Dia menjawab, “Engkau adalah Rasulullah.” Nabi bersabda,
“Bebaskan dia, karena dia seorang mukminah.”}}.
Hadits ini termasuk hadits sifat.
Dalam hal ini terdapat dua pendapat seperti yang telah dijelaskan beberapa
kali pada ‘Kitab Iman’. Dua pendapat itu
adalah: (1) Mengimaninya tanpa membahas secara mendalam tentang maknanya,
bersama dengan keyakinan bahwa Allah SWT tidak serupa dengan apapun, serta
mensucikan-Nya dari sifat khas makhluk. (2) Mentakwilkan dengan sesuatu yang
pantas bagi-Nya. Ulama yang mengikuti pendapat kedua berkata: yang dimaksud
adalah menguji budak itu apakah dia bertauhid dengan meyakini bahwa yang Maha Pencipta,
Maha Mengatur, Maha Berbuat hanyalah Allah Yang Esa. Allah yang jika orang
berdoa kepada-Nya dengan menghadap langit sebagaimana jika sholat menghadap ke
ka’bah. Yang dimaksud hadits itu bukanlah karena Allah terbatas di langit
sebagaimana Allah tidak terbatas di arah kiblat.
………………
Al Qadhi Iyadh berkata: [[Tidak ada
khilaf/perbedaan di kalangan muslimin seluruhnya, baik ahli fiqihnya, ahli
haditsnya, ahli kalamnya, cendikiawannya, maupun muqallidnya. Bahwa makna
dhohir dari nash yang bahwa menyatakan Allah SWT ada di langit, --seperti
firman-Nya
أَأَمِنتُم مَّن فِي السَّمَاءِ أَن يَخْسِفَ
بِكُمُ الْأَرْضَ
--bahwa maknanya bukanlah seperti
dhahirnya (yang tersurat). Akan tetapi menurut mereka semua, ayat seperti ini
ditakwil. Ulama yang mengitsbat (menetapkan) arah atas tanpa pembatasan dan
tanpa kaif –dari para ahli hadits, ahli fiqih dan ahli kalam—mereka
mentakwilkan kata “di langit” dengan “di atas langit”. Sedangkan mayoritas
cendikiawan, ahli kalam dan ahli tanzih menafikan/meniadakan batasan dan arah.
Mereka mentakwilkan dengan beberapa takwil yang sesuai dengan penggunaannya. …
Pendapatku tentang kesepakatan ahlus sunnah dan ahlul haq seluruhnya adalah:
wajibnya menahan diri dari berfikir tentang dzat Allah sebagaimana mereka
melewatkan nash (sebagaimana adanya-pent) dan diam karena bingungnya pikiran.
Mereka sepakat atas haramnya takyif (=menentukan cara/bentuk-pent) dan tasykil
(=menentukan bentuk/macam-pent). Hal itu terlihat dari diamnya mereka, juga
mereka menahan diri, tanpa ragu tentang wujud Allah, tanpa merusak tauhid.
Bahkan, seperti itulah hakikat tauhid. Kemudian sebagian mereka bertoleransi
tentang penetapan arah karena takut dari hal seperti ini (terjatuh pada berpikir
tentang dzat Allah-pent), dan takut tentang apakah takyif dan itsbat arah itu
berbeda. Akan tetapi mereka memutlakkan apa yang telah dimutlakkan oleh syara’
bahwasannya Allah berkuasa atas sekalian hamba-Nya, dan bahwasannya Allah
‘istiwa’ atas arsy dengan menahan diri dari semua ayat tentang ini dengan
tanzih sesuatu yang sulit dipahami akal, karena firman Allah yang lain: Laisa
kamitslihi syaiun, tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia.]] (Syarah
Shahih Muslim, Imam Nawawi, jilid 5 hlm. 24-25, cetakan Al Mathba’ah Al
Mishriyyah bil Azhar)
Pada bagian lain Imam Nawawi menjelaskan :
Ketahuilah bahwasanya ahli ilmu
punya dua pendapat tentang hadits dan ayat sifat: (1) Madzhab pembesar salaf
atau keseluruhannya, bahwasannya mereka tidak membicarakan maknanya. Akan
tetapi mereka berkata, wajib bagi kami untuk beriman padanya dan meyakini ayat
dan hadits itu mempunyai makna yang sesuai dengan kebesaran dan keagungan Allah;
bersamaan dengan keyakinan yang pasti bahwasannya Allah SWT tidak serupa dengan
apapun, dan bahwasannya Allah Maha Suci dari jisim, berpindah, bertempat pada
suatu arah dan dari seluruh sifat makhluk. Ini merupakan madzhab segolongan
ahli kalam, dan sekelompok peneliti memilih madzhab ini. Inilah madzahab yang
lebih selamat. (2) Madzhab para pembesar ahli kalam bahwasannya ayat dan hadits
sifat ditakwil dengan sesuatu yang sesuai
dengan penggunaannya. Yang boleh mentakwil adalah orang yang ahli, yang
memahami perkataan-perkataan Arab serta kaidah-kaidah ushul dan furu’, serta menguasai
ilmu ini. (Syarah Shahih Muslim, Imam Nawawi, jilid 3 hlm. 19, cetakan Al
Mathba’ah Al Mishriyyah bil Azhar)
IBNU HAJAR AL ASQALANI
Dalam kitab ‘Fathul Bari’, syarah
shahih Bukhari beliau menjelaskan tentang hadits:
Nabi SAW bersabda: {{Sesungguhnya
jika salah seorang dari kamu berdiri untuk sholat, maka dia sedang bermunajat
kepada Tuhannya, atau Tuhannya berada di antara dirinya dan kiblat…}}.
Hadits ini menolak orang yang
menyangka bahwa Allah di atas arsy dengan dzat-Nya. (Fathul Bari, Ibnu Hajar Al
Asqalani, jilid 1 hlm. 508, cetakan Al Maktabah As Salafiyyah).
Tentang hadits ‘nuzul’ beliau
mengatakan:
Orang yang menetapkan arah berdalil
dengan hadits ini. Dia berkata, “yaitu arah atas”. Mayoritas ulama (jumhur)
mengingkari hal itu, karena perkataan semacam itu menunjukkan tempat. Maha Suci
Allah dari hal itu. (Fathul Bari, Ibnu Hajar Al Asqalani, jilid 3 hlm. 30,
cetakan Al Maktabah As Salafiyyah).
Penjelasan tetang hadits No. 7421
:
Zainab binti Jahsy berkata :
“Sesungguhnya Allah menikahkanku di langit.”
Al Kirmani mengatakan: perkataan “di
langit”, maka dhohirnya (makna tersuratnya) bukanlah yang dimaksud, karena
Allah Maha Suci dari bertempat. Akan tetapi, karena arah atas itu lebih mulia
dibandingkan arah lainnya, maka arah ini disandarkan kepada Allah sebagai
isyarat/pertanda ketinggian Dzat dan sifat-Nya. Seperti ini pula nash-nash lain
yang mengandung lafadz “ketinggian” dan yang semisalnya. (Fathul Bari, Ibnu
Hajar Al Asqalani, jilid 13 hlm. 412, cetakan Al Maktabah As Salafiyyah).
Penjelasan tentang Bab “ta’rujul
malaaikatu war ruuhu ilaihi.”:
Ibnu Baththal berkata: Dengan bab
ini, Imam Bukhari ingin membantah jahmiyyah mujassimah yang berpegang pada
makna dhohir. Sungguh telah tetap bahwasannya Allah itu bukan jisim, sehingga
tidak membutuhkan tempat untuk menetap/tinggal. Sesungguhnya Dia telah ada
tanpa ada tempat (kana wa la makana). Sesungguhnya penyandaran “al ma’arij”
(tempat-tempat naik) kepada Allah maksudnya adalah kemuliaan. Dan makna
“irtifa’” adalah ketinggian-Nya dengan mensucikan-Nya dari tempat. (Fathul
Bari, Ibnu Hajar Al Asqalani, jilid 13 hlm. 416, cetakan Al Maktabah As Salafiyyah).
IMAM AL QURTHUBI
Dalam ‘Tafsir Al Qurthubi’ Surat Al
A’raf ayat 54 beliau menjelaskan tentang firman Allah :
ثُمَّ اسْتَوَىٰ عَلَى الْعَرْش
Mayoritas ulama dahulu dan sekarang
berpendapat wajibnya tanzih/mensucikan Allah dari arah dan tempat. Termasuk
hajat dan kewajiban dalam hal ini – menurut kebanyakan ulama yang dahulu dan
ulama sekarang yang mengikuti mereka – , yaitu: mensucikan Allah dari arah,
sehingga menurut mereka Allah tidak di arah atas. (Tafsir Al Qurthubi, QS. Al
A’raf ayat 54, versi software ‘Ayat’).
SYAIKH NAWAWI AL BANTANI
Beliau menjelaskan dalam kitab
‘Nurudh Dholam’:
Allah SWT adalah Dzat yang tidak ada
pada-Nya sifat makhluk. Apapun yang terlintas dalam pikiranmu dari sifat-sifat
makhluk, maka itu semua tidak ada pada Allah, dan Dia tidak bertempat. (Nurudh
dholam, Syaikh Nawawi al Bantani, hlm. 7-8, Mathba’ah Mushtafa al Babi al
Halabi wa Auladuh).
Artikel lain :
101 Ciri Ahlussunnah wal Jama'ah
Aqidah Ahlussunnah wal Jama'ah
Salafi Sebagai Madzhab Aqidah
Prinsip-prinsip Dasar Aqidah Asy'ariyyah
Pengertian Bid'ah
Pentingnya Sanad
Tawassul dan Istighotsah yang Syar'i
Artikel lain :
101 Ciri Ahlussunnah wal Jama'ah
Aqidah Ahlussunnah wal Jama'ah
Salafi Sebagai Madzhab Aqidah
Prinsip-prinsip Dasar Aqidah Asy'ariyyah
Pengertian Bid'ah
Pentingnya Sanad
Tawassul dan Istighotsah yang Syar'i
Tidak ada komentar:
Posting Komentar